Korupsi dalam pandangan Syari`at
Islam diturunkan Allah -Subhanahu wa Ta`ala- adalah untuk dijadikan pedoman dalam menata kehidupan umat manusia, baik dalam berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara. Tidak ada sisi yang teralpakan (tidak diatur) oleh Islam. Aturan atau konsep itu bersifat "mengikat" bagi setiap orang yang mengaku "muslim". Konsep Islam juga bersifat totalitas dan komprihensif, tak boleh dipilah-pilah seperti yang dilakukan kebanyakan rezim sekarang ini. Mengambil sebagian dan membuang bagian lainnya, adalah sikap yang tercela dalam pandangan Islam (al-Baqoroh : 85).
Salah satu aturan Islam yang bersifat individual, adalah mencari kehidupan dari sumber-sumber yang halal. Islam mengajarkan kepada ummatnya agar dalam mencari nafkah kehidupan, hendaknya menempuh jalan yang halal dan terpuji dalam pandangan syara`. Pintu-pintu rezeki yang halal terbuka sangat luas, tidak seperti yang dibayangkan oleh banyak orang awam, bahwa dizaman modern ini pintu rezeki yang halal sudah tertutup rapat dan tak ada jalan keluar dari sumber yang haram. Anggapan ini amat keliru dan pessimistik. Tidak masuk akal, Allah memerintahkan hambaNya mencari jalan hidup yang bersih sementara pintu halal itu sendiri sudah tidak didapatkan lagi. Alasan di atas lebih merupakan hilah (dalih) untuk menjustifikasi realitas masyarakat kita yang sudah menyimpang jauh dan menghalalkan segala cara.
Dalam waktu yang sama, Allah swt melarang hambanya memakan harta/hak orang lain secara tidak sah, apakah melalui pencurian, copet, rampok, pemerasan, pemaksaan dan bentuk-bentuk lainnya. Dalam kaitan ini, Allah swt berfirman dalam al-Qur`an:
"Dan janganlah kamu makan harta sesama kamu dengan cara yang batil". (al-Baqoroh 188, dan An-Nisa`: 29).
Larangan (nahy) dalam ayat di atas menunjukkan bahwa memakan barang atau harta orang lain, baik bersifat individu atau harta orang banyak hukumnya haram. Pelakunya diancam dengan dosa.
Korupsi ialah menyalahgunakan atau menggelapkan uang/harta kekayaan umum (negara, rakyat atau orang banyak) untuk kepentingan pribadi. Praktik korupsi biasanya dilakukan oleh pejabat yang memegang suatu jabatan pemerintah. Dalam istilah politik bahasa Arab, korupsi sering disebut ‘al-fasad’, atau ‘risywah’. Tetapi yang lebih spesifik, ialah "ikhtilas" atau "nahb al-amwal al-`ammah".
Dari keterangan di atas, dapat dipahami bahwa korupsi adalah pekerjaan yang diharamkan karena termasuk memakan harta orang lain dengan cara tidak sah.
Dua hal dalam risywah:
Seorang muslim hendaknya berusaha keras menjauhi praktik risywah dalam hidupnya. Ini adalah prinsip yang hendaknya kita pegang teguh. Mengingat janji "laknat" Rasul saw. bagi pelaku risywah itu. Bahkan sekalipun seorang muslim menanggung risiko, akibat menolak praktik risywah tersebut. Umpamanya, gara-gara menolak menyogok, seseorang tidak diterima menjadi pegawai, padahal dia berhak untuk lulus. Atau urusannya menjadi terbengkalai, karena tidak mau menyogok, dan sebagainya. Inilah sikap yang terbaik bila memungkinkan.
Hanya saja ada alternatif lain. Jika seorang muslim tidak mampu mengambil sikap yang "ahwath" di atas, dan ia terpaksa harus mengasi uang untuk mendapatkan haknya, maka yang menanggung dosa dalam masalah ini adalah pejabat yang menerima uang sogok tersebut. Demikian difatwakan oleh Syekh Dr. Yusuf Al-Qardhawy. Akan tetapi sikap ini janganlah dilakukan kalau bukan terpaksa.
Hukum "kolusi" menurut Islam
Yang dimaksud dengan kolusi di sini ialah persekongkolan antara dua pihak untuk suatu perbuatan melanggar hukum dan merugikan orang lain. Umpamanya seorang pejabat yang berwenang memutuskan pemenang sebuah tender bersepakat dengan salah seorang pengaju tender agar tendernya yang dimenangkan, maka kesepakatan itu disebut "kolusi". Begitu juga hakim di pengadilan yang berkolusi dengan pihak-pihak yang berperkara, agar perkaranya dimenangkan.
Dalam bahasa agamanya, kolusi bisa disebut dengan "risywah". Tetapi dalam bahasa politiknya, kolusi sering disebut "al-mahsubiyah".
Bila kita membahas masalah kolusi dalam tinjauan hukum syara`, maka kita dapt temukan beberapa nash yang secara langsung dan tegas berbicara tentang masalah kolusi ini, diantaranya, firman Allah swt:
"Dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim dengan tujuan memakan harta orang lain dengan cara yang tak sah, padahal kamu mengetahui."
Dalam ayat di atas, praktik bersekongkol antara pihak yang berperkara dengan penguasa/hakim dengan tujuan untuk memakan harta orang lain dengan cara yang berdosa (tidak sah), adalah perbuatan terlarang dan diharamkan.
Di samping itu, kita juga dapat menemukan hadits Rasul saw. yang secara tegas berbicara tentang kolusi dan korupsi, yaitu :
"Rasulullah -shallallahu `alaihi wasallam- melaknat orang yang memberikan uang sogok (risywah), penerima sogok dan perantara keduanya (calo)."
Nepotisme dalam pandangan Islam
Istilah "nepotisme" biasa dipakai untuk menerangkan praktik dalam kekuasaan umum yang mendahulukan kepentingan keluarga dekat untuk mendapatkan suatu kesempatan. Dalam bahasa arabnya biasa dipakai istilah "al-Muhabah"
Dalam pandangan Islam, suatu jabatan harus dipegang oleh orang yang berkompeten, ahli untuk bidang yang ditawarkan. Dalam suatu hadits disebutkan bahwa penyerahan jabatan kepada yang bukan ahlinya merupakan salah satu tanda akhir zaman (asyrat al-Sa`ah):
"Apabila sesuatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah Kiamat."
Adapun jika yang diserahi tugas itu adalah kerabat dekat dari orang yang memberi tugas, bukanlah menjadi persoalan. Yang penting apakah orang tersebut memenuhi persyaratan atau tidak. Jadi prinsip yang ditanamkan dalam Islam adalah soal kompetensi seseorang atas sesuatu jabatan, bukan ada tidaknya hubungan kekerabatan. Kalaupun sekiranya pemangku sebuah jabatan adalah keluarga dari orang menunjuk, selama orang tersebut berkompeten/berhak dan tidak ada pihak-pihak yang merasa dizalimi, maka hal itu tidaklah menjadi persoalan.
Jika kita memegang prinsip "kekerabatan" sebagai landasan, dalam arti setiap ada hubungan kekerabatan seseorang dengan pejabat yang menunjuk maka itu sudah merupakan nepotisme yang terlarang, secara rasional barangkali sikap ini kurang obyektif. Hanya gara-gara hubungan kerabat, seseorang tidak berhak mendapatkan haknya, padahal ia berkompeten dalam urusan itu, tentu sikap seperti ini berlebihan yang tidak pada tempatnya. Jadi dalam pandangan Islam, nepotisme tidak selamanya tercela. Yang dilarang adalah menempatkan keluarga yang tidak punya keahlian dalam suatu posisi karena didasari oleh adanya hubungan kekeluargaan. Atau punya kapasitas, tetapi masih ada orang yang lebih berhak untuk jabatan itu, namun yang didahulukan adalah keluarganya. Ini juga nepotisme yang tercela. Karena ada orang lain yang dizalimi,- tidak mendapatkan haknya.
Rezim orde baru memang sarat dengan praktik nepotisme yang terlarang. Sejumlah pejabat tinggi menempatkan anak, istri, menantu, keponakan mereka untuk menduduki kursi dan jabatan pemerintahan ataupun swasta. Padahal mereka ini bukan lulus karena keahliannya. Buktinya, ada orang-orang yang lebih ahli dari mereka tidak mendapatkan haknya. Begitu juga dengan keanggotaan MPR dan DPR. Banyak dari mereka yang diangkat itu sama sekali tidak memiliki prestasi atau keahlian dalam bidang yang dibutuhkan. Praktik ini jelas merupakan "nepotisme" yang berdosa yang dijanjikan Rasul sebagai tanda-tanda hari Kiamat.
Wallahu a`lamu bish-Shawab
Salah satu aturan Islam yang bersifat individual, adalah mencari kehidupan dari sumber-sumber yang halal. Islam mengajarkan kepada ummatnya agar dalam mencari nafkah kehidupan, hendaknya menempuh jalan yang halal dan terpuji dalam pandangan syara`. Pintu-pintu rezeki yang halal terbuka sangat luas, tidak seperti yang dibayangkan oleh banyak orang awam, bahwa dizaman modern ini pintu rezeki yang halal sudah tertutup rapat dan tak ada jalan keluar dari sumber yang haram. Anggapan ini amat keliru dan pessimistik. Tidak masuk akal, Allah memerintahkan hambaNya mencari jalan hidup yang bersih sementara pintu halal itu sendiri sudah tidak didapatkan lagi. Alasan di atas lebih merupakan hilah (dalih) untuk menjustifikasi realitas masyarakat kita yang sudah menyimpang jauh dan menghalalkan segala cara.
Dalam waktu yang sama, Allah swt melarang hambanya memakan harta/hak orang lain secara tidak sah, apakah melalui pencurian, copet, rampok, pemerasan, pemaksaan dan bentuk-bentuk lainnya. Dalam kaitan ini, Allah swt berfirman dalam al-Qur`an:
"Dan janganlah kamu makan harta sesama kamu dengan cara yang batil". (al-Baqoroh 188, dan An-Nisa`: 29).
Larangan (nahy) dalam ayat di atas menunjukkan bahwa memakan barang atau harta orang lain, baik bersifat individu atau harta orang banyak hukumnya haram. Pelakunya diancam dengan dosa.
Korupsi ialah menyalahgunakan atau menggelapkan uang/harta kekayaan umum (negara, rakyat atau orang banyak) untuk kepentingan pribadi. Praktik korupsi biasanya dilakukan oleh pejabat yang memegang suatu jabatan pemerintah. Dalam istilah politik bahasa Arab, korupsi sering disebut ‘al-fasad’, atau ‘risywah’. Tetapi yang lebih spesifik, ialah "ikhtilas" atau "nahb al-amwal al-`ammah".
Dari keterangan di atas, dapat dipahami bahwa korupsi adalah pekerjaan yang diharamkan karena termasuk memakan harta orang lain dengan cara tidak sah.
Dua hal dalam risywah:
Seorang muslim hendaknya berusaha keras menjauhi praktik risywah dalam hidupnya. Ini adalah prinsip yang hendaknya kita pegang teguh. Mengingat janji "laknat" Rasul saw. bagi pelaku risywah itu. Bahkan sekalipun seorang muslim menanggung risiko, akibat menolak praktik risywah tersebut. Umpamanya, gara-gara menolak menyogok, seseorang tidak diterima menjadi pegawai, padahal dia berhak untuk lulus. Atau urusannya menjadi terbengkalai, karena tidak mau menyogok, dan sebagainya. Inilah sikap yang terbaik bila memungkinkan.
Hanya saja ada alternatif lain. Jika seorang muslim tidak mampu mengambil sikap yang "ahwath" di atas, dan ia terpaksa harus mengasi uang untuk mendapatkan haknya, maka yang menanggung dosa dalam masalah ini adalah pejabat yang menerima uang sogok tersebut. Demikian difatwakan oleh Syekh Dr. Yusuf Al-Qardhawy. Akan tetapi sikap ini janganlah dilakukan kalau bukan terpaksa.
Hukum "kolusi" menurut Islam
Yang dimaksud dengan kolusi di sini ialah persekongkolan antara dua pihak untuk suatu perbuatan melanggar hukum dan merugikan orang lain. Umpamanya seorang pejabat yang berwenang memutuskan pemenang sebuah tender bersepakat dengan salah seorang pengaju tender agar tendernya yang dimenangkan, maka kesepakatan itu disebut "kolusi". Begitu juga hakim di pengadilan yang berkolusi dengan pihak-pihak yang berperkara, agar perkaranya dimenangkan.
Dalam bahasa agamanya, kolusi bisa disebut dengan "risywah". Tetapi dalam bahasa politiknya, kolusi sering disebut "al-mahsubiyah".
Bila kita membahas masalah kolusi dalam tinjauan hukum syara`, maka kita dapt temukan beberapa nash yang secara langsung dan tegas berbicara tentang masalah kolusi ini, diantaranya, firman Allah swt:
"Dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim dengan tujuan memakan harta orang lain dengan cara yang tak sah, padahal kamu mengetahui."
Dalam ayat di atas, praktik bersekongkol antara pihak yang berperkara dengan penguasa/hakim dengan tujuan untuk memakan harta orang lain dengan cara yang berdosa (tidak sah), adalah perbuatan terlarang dan diharamkan.
Di samping itu, kita juga dapat menemukan hadits Rasul saw. yang secara tegas berbicara tentang kolusi dan korupsi, yaitu :
"Rasulullah -shallallahu `alaihi wasallam- melaknat orang yang memberikan uang sogok (risywah), penerima sogok dan perantara keduanya (calo)."
Nepotisme dalam pandangan Islam
Istilah "nepotisme" biasa dipakai untuk menerangkan praktik dalam kekuasaan umum yang mendahulukan kepentingan keluarga dekat untuk mendapatkan suatu kesempatan. Dalam bahasa arabnya biasa dipakai istilah "al-Muhabah"
Dalam pandangan Islam, suatu jabatan harus dipegang oleh orang yang berkompeten, ahli untuk bidang yang ditawarkan. Dalam suatu hadits disebutkan bahwa penyerahan jabatan kepada yang bukan ahlinya merupakan salah satu tanda akhir zaman (asyrat al-Sa`ah):
"Apabila sesuatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah Kiamat."
Adapun jika yang diserahi tugas itu adalah kerabat dekat dari orang yang memberi tugas, bukanlah menjadi persoalan. Yang penting apakah orang tersebut memenuhi persyaratan atau tidak. Jadi prinsip yang ditanamkan dalam Islam adalah soal kompetensi seseorang atas sesuatu jabatan, bukan ada tidaknya hubungan kekerabatan. Kalaupun sekiranya pemangku sebuah jabatan adalah keluarga dari orang menunjuk, selama orang tersebut berkompeten/berhak dan tidak ada pihak-pihak yang merasa dizalimi, maka hal itu tidaklah menjadi persoalan.
Jika kita memegang prinsip "kekerabatan" sebagai landasan, dalam arti setiap ada hubungan kekerabatan seseorang dengan pejabat yang menunjuk maka itu sudah merupakan nepotisme yang terlarang, secara rasional barangkali sikap ini kurang obyektif. Hanya gara-gara hubungan kerabat, seseorang tidak berhak mendapatkan haknya, padahal ia berkompeten dalam urusan itu, tentu sikap seperti ini berlebihan yang tidak pada tempatnya. Jadi dalam pandangan Islam, nepotisme tidak selamanya tercela. Yang dilarang adalah menempatkan keluarga yang tidak punya keahlian dalam suatu posisi karena didasari oleh adanya hubungan kekeluargaan. Atau punya kapasitas, tetapi masih ada orang yang lebih berhak untuk jabatan itu, namun yang didahulukan adalah keluarganya. Ini juga nepotisme yang tercela. Karena ada orang lain yang dizalimi,- tidak mendapatkan haknya.
Rezim orde baru memang sarat dengan praktik nepotisme yang terlarang. Sejumlah pejabat tinggi menempatkan anak, istri, menantu, keponakan mereka untuk menduduki kursi dan jabatan pemerintahan ataupun swasta. Padahal mereka ini bukan lulus karena keahliannya. Buktinya, ada orang-orang yang lebih ahli dari mereka tidak mendapatkan haknya. Begitu juga dengan keanggotaan MPR dan DPR. Banyak dari mereka yang diangkat itu sama sekali tidak memiliki prestasi atau keahlian dalam bidang yang dibutuhkan. Praktik ini jelas merupakan "nepotisme" yang berdosa yang dijanjikan Rasul sebagai tanda-tanda hari Kiamat.
Wallahu a`lamu bish-Shawab
No comments:
Post a Comment